Kembali

Simetri yang Maha Satu

Diperbarui pada:
Edit halaman
Abstract art including inks on the canvas
Illustration from Pinterest

Table of contents

Open Table of contents

Prolog: Sunyi

Sunyi ini tidak selalu kosong. Kadang, ia penuh oleh pertanyaan yang tak pernah terjawab.

Aku diam di tengah diam.
Langit malam menggantung tanpa suara, tapi—bintang-bintang seperti menyisipkan bisikan yang tak bisa kuterjemahkan.
Mengapa aku di sini?
Apa artinya menjadi ada, di semesta yang memintaku untuk hadir?

Aku bisa merasakan denyut jantungku…
tapi, aku tak pernah tahu siapa yang memanggilnya untuk berdetak.

Aku berpikir tentang ruang dan waktu, tentang partikel dan galaksi.
Tentang hukum-hukum yang bekerja dalam kesunyian paling teratur seolah mereka tahu persis tugasnya—tanpa pernah belajar apa pun.
Seolah semua ini… telah ditulis sebelum segalanya mulai.

Lalu aku melihat ke dalam diriku: perasaan, kesadaran, kegelisahan. Dan aku tahu, aku bukan sekadar massa yang bergerak.
Aku lebih dari itu.
Tapi siapa yang bisa mengatakan lebih itu apa?

Malam belum menjawab. Tapi malam tidak bohong.
Ia hanya mengajakku diam… dan mendengar.

Keheranan Terhadap Alam Semesta

Ada yang tak bisa kutampik saat menatap langit: segalanya terlalu teratur untuk disebut kebetulan.
Konstanta gravitasi, kecepatan cahaya, struktur atom, lengkung ruang— semua seperti satu komposisi agung yang tak pernah kacau, meski tak seorang pun di antara kita yang mengatur.

Mereka menyebutnya big bang.
Ledakan maha dahsyat yang katanya melahirkan segalanya.
Namun, bagaimana ledakan bisa menghasilkan keteraturan?

Bagaimana sesuatu bisa muncul dari ketiadaan, lalu memilih menjadi semesta yang bisa dikenali?
Mengapa hukum-hukum ini begitu presisi, seolah semesta tahu bahwa manusia akan muncul dan bertanya?

Keberadaan Diri dan Pertanyaan Eksistensial

Aku tak pernah memilih untuk lahir.
Tak tahu mengapa; dunia ini, pada waktu ini, sebagai diriku yang sekarang.
Akan tetapi, aku sudah ada, sudah exist, aku sadar. Dan, kesadaran itu—menjadi beban.

Apakah aku bebas?
Jika bebas, mengapa ada takdir?
Jika tidak bbas, perlukah aku merasa bersalah atas pilihan-pilihanku sendiri?

Aku pernah terluka.
Pernah mempertanyakan mengapa penderitaan terasa begitu akrab bagi makhluk yang katanya mulia.
Apakah hidup hanya deretan peristiwa tanpa makna, atau sebenarnya ada pesan yang tersembunyi di balik luka-luka?

Para filsuf bicara tentang eksistensi, absurditas, kehampaan, dan kematian. Bahwa hidup tak punya makna kecuali yang kuberikan sendiri.
Tapi bagaimana jika makna bukan hanya lahir dari kehendakku?
Bagaimana jika makna itu—justru memanggilku lebih dulu?

Aku gelisah karena ingin tahu.
Tapi mungkin, kegelisahan ini adalah tanda bahwa aku sedang dicari.
Bukan sekadar mencari.

Kilatan Tauhid dalam Renungan

Saat akal berhenti di ambang misteri, dan ilmu kehilangan bahasanya di hadapan yang tak terhingga— di sanalah sesuatu dalam diriku berbisik:
“Ini bukan sekadar tentang pengetahuan, tapi tentang pengakuan.”

Aku mulai melihat pola.
Bahwa segala yang rumit justru mengarah pada kesederhanaan yang agung.
Bahwa semesta ini bukan tanpa arah, melainkan sedang menuju pulang pada Satu Simetri yang tak pernah cacat.
Mereka menyebutnya Tuhan.
Aku menyebut-Nya: Yang Esa.

Bukan karena agama mengajarkan begitu, tapi karena seluruh struktur keberadaan— dari tarian partikel hingga detak nurani— menunjuk pada satu arah yang sama.

Al-Qur’an tidak hadir untuk menggantikan sains, namun untuk menundukkan kesombongan akal yang lupa bahwa ia dicipta.
”Tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.”
Ayat itu bukan sekadar dogma, tapi bentuk paling murni dari Simetri Mutlak yang tak terhingga, yang menyatukan keberadaan dan makna.

Diam yang Menyadari

Aku tidak lagi menuntut semua jawaban.
Karena aku tahu, tidak semua jawaban harus dimiliki, cukup dirasakan—dalam diam yang menyadari.

Semesta ini bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi ayat-ayat yang perlu direnungi.
Dan aku… bukan hanya satu-satunya makhluk yang mencari makna, namun aku menjadi bagian dari makna itu sendiri.

Kehidupan tak selalu terang. Kadang ia gelap, berat, asing. Tapi justru dalam gelap itu, aku melihat cahaya yang tak bisa dipadamkan oleh keraguan:
Bahwa aku dicipta.
Bahwa aku dilihat.
Bahwa aku dicintai oleh Yang Tak Terlihat.

Dan jika semuanya harus berakhir, aku tahu, ini bukan akhir. Karena, Yang Esa tak pernah selesai.

Epilog: Pernyataan Atas Semuanya

Seharusnya kita menyadari bahwa kita tidak perlu mengetahui dan memahami segalanya, namun kita perlu meyakini yang punya segalanya.
Dia Esa, Dia Kuasa, dan Dia Tak Terhingga.

“Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” QS. Al Ikhlas (4)

Daftar Pustaka


Edit halaman
Share postingan ini di:

Sebelumnya
Customizing AstroPaper theme color schemes
Selanjutnya
3 Alasan Mengapa Anime Orb On The Movements of the Earth dapat dikatakan sebagai masterpiece